Kamis, 24 April 2014

suluk dalam tasawuf

A.PENGERTIAN SULUK
           Secara etimologis, kata suluk berarti jalan atau cara, bisa juga diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingga Husnu al-Suluk berarti kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan dari bentuk verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung beberapa arti yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan memasukkan"
 Khan Sahib Kahja Khan (pakar bidang tasawuf dari India) mangatakan bahwa salik ialah orang yang tengah menempuh perjalan rohani (suluk).
 Cgril Glasse dalam Ensiklopedi Islam, yang dimaksud suluk adalah keadaan jiwa atau tindakan kalangan sufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Allah.
Menurut al-Gazali, suluk berarti menjernihkan akhlak, amal pengetahuan. Suluk dilakukan dengan cara aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal batin. Semua kesibukan hamba dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan bathinnya untuk persiapan wushul kepada-Nya.
 Gufron A. Mas 'Adi dalam Ensiklopedi Islam mengatakan, suluk merupakan keadaan jiwa atau tindakan kalangan sufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Tuhan. Istilah ini juga menunjukkan pada sebuah quasi magis, dan sebuah ucapan spiritualis yang bercorak lokal Indonesia dikenal sebagai upacara suluk. Dalam upacara ini pelakunya berusaha mencapai kekuatan psikis atau magisdengan mempertahankan diri dari serangan dunia spirit selama satu malam, yang mana seseorang dimatikan secara simbolik.
 Secara garis besar suluk merupakan kegiatan seseorang untuk menuju kedekatan diri kepada Allah, suluk hampir sama den gan tarekat, yakni cara mendekakan diri kepada Tuhan. Hanya saja, kalau tarekat masih bersifat konseptual, sedan gkan suluk sudah dalam bentuk teknis oprasional. Oprasional dalam arti yang sesungguhnya: bukan hanya sekedar teori melainkan langsung dipraktikkan dalam tingkah laku keseharian, kata suluk berasal dari terminologi dalam al-Quran, Fasluki dalam surat an-Nahl (16) Ayat 69.
 Suluk di dalam istilah tasawuf adalah jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah swt atau cara memperoleh ma'rifat. Dalam istilah selanjutnya istilah ini digunakan untuk sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ihwal (keadaan mental) atau maqam tertentu.
 Dalam memahami tasawuf, suluk diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju Sang Sumber. Ini adalah metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan. Seseorang yang menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang telah jauh berjalan menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan penghambaanya kepada Allah.
Adapun hakekat suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah (dengan taat lahir dan bathin).
Salik adalah  seseorang yang berpegang teguh dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT dan Baginda Nabi SAW untuk mendekatkan diri kepada-Nya.Ketika belajar tepat waktu dalam menjalankan shalat lima waktu, itu artinya kita mengikuti suluk. Suluk artinya jalan spiritual. Dan jalan yang kita tempuh tadi berada dalam tingkatan mubtadiin atau pemula. Seorang salik akan istiqomah dalam menjalankan syariat. Ia selalu berusaha shalat tepat waktu dan tidak mengakhirkannya.ketika sudah istiqomah menjalankan sholat lima waktu pada waktunya, kita belajar untuk tidak meninggalkan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat sunah qabliyah dan ba’diyah. Sebab shalat sunah tersebut selain untuk mendapat nilai tambah, juga kita belajar memerangi nafsu kita yang selalu ingin buru-buru selesai menjalankan shalat fardhu.Teruslah istiqamah menjalankan shalat sunnah qabliyah dan shalat sunnah ba'diyah sebagaimana yang dikerjakan Rasulullah SAW.Lalu kita beristiqamah lagi dengan bersalik, yaitu bagaimana menjaga agar setiap hari agar kita tidak melanggar apa yang dilarang Allah, serta terus berusaha sesuai kemampuan kita menjalankan perintah Allah selain yang wajib seperti mengikuti sunnah Nabi SAW, setapak demi setapak, atau setahap demi setahap.Perjalanan salik ini tidak hanya sewaktu mengikuti suluk di thariqah, tapi kita juga dituntut untuk mengamalkan amal perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala, kapan saja dalam suluk atau pun tidak
Jadi arti salik dan suluk luas sekali. Suluk yang menjadi inti thariqah adalah melatih hati kita supaya tidak lupa kepada Allah dan apa yang dajarkan oleh Baginda Nabi SAW. Ibarat arloji ditangan kita. Jarum jamnya terus berputar, tetapi kita tetap terus berakitivitas. Hati kita terus berzikir, tubuh kita tetap beraktivitas.Namun dzikir itu tidak sekedar berdzikir. Tapi ketika menyebut nama Allah, kita merasa didengar dan dilihat oleh-Nya dan kita mengetahui ke-maha-an sifat Allah SWT, yang serba maha dalam segala sifatnya. Jadi, apakah kita merasa jadi bagian dari yang dilihat Allah atau tidak, dan merasa jadi bagian yang didengar atau tidak. Dan bilamana kita sudah merasa didengar dan dilihat oleh Allah Ta’ala, Insya Allah, kita akan menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah, dan dilarang Baginda Nabi SAW. Itulah tujuan suluk dalam thariqah.



B. TUJUAN SULUK
Tujuan sufi (salik) melakukan suluk adalah untuk mencapai ma’rifat yang sempurna dari allah SWT.Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berartimengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan denganpengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenalAllah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa UlamaTasawuf; antara lain:Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawufyang mengatakan:"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujudyang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapatAbuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalamkeadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammadbin Abdillah yang mengatakan:"Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yangmeningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. memandang kepada wajah Allah ta’ala.


C.JALAN MANCAPAI SULUK

Jalan yang dilakukan oleh sufi untuk mencapai suluk adalah sebagai berikut;

1.Maqamat
Maqamat jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih popular diterjemahkan sebagai “stasiun” tidak ubahnya seperti stasiun kereta api yang harus kitaa lalui sepanjang perjalanan, dari “titik start” kita sampai kepada “finish” sebagai tujuan akhir perjalanan.
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal muliah. Atau istilah lain sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga 
Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang penjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang berhala terbesar dank arena itu kendala menuju tuhan.
Maqamat yang disepakati:

a.al-taubah(taubat)
                   taubat adalah menyesali tindak kelalaian kepada Allah yang telah tejadi disertai tekad  kuat untuk melekatkan diri dengan jalan taswuf, landasan tasawuf yang benar adalah taubat yang  sesungguh-sungguhnya yang menjadi titik total seorang hamba dalam meninggalkan dosa-dosa secara total.
Menurut imam al-junaid “ taubat memiliki tiga pengertian , pertama sesal, kedua tekad untuk tidak mengulangi perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan ketiga usaha mengembalikan mazhalim(orang yang dizalimi)

b.al-zuhud(zuhud)
                   zuhud disini adalah zuhud kepada dunia. menurut shaafwan al-tsauri zuhud adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, dan bukan dalam arti makan makanan yang kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar. Abu utsman berkata, “zuhud adalah hendaknya engkau meninggalkan dunia untuk kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya. Buah dari zuhud adalah kedermawanan. Adapun pertanda zuhud adalah adanya sikap tenang ketika ketika berpisah dengan harta milik. Dikatakan bahwa bagi orang yang benar-benar zuhud , dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan dan kehinaan.



c.al-wara
                   selanjutnya, al-wara menurut Abu ‘Ali Daqqaq, adalah “meninggalkan apapun yang syubhat. Atau seperti yang dikatakan Ibrahim ibn adam , yaitu meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan. Wara’ didefinisikan secara lebih luas oleh al-sibli sebagi menjauhi segala sesuatu selain Allah. Yahya ibn mu’ads membagi wara’ menjadi dua , wara’ dalam pengertian zikir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakanpun selain Allah, dan wara’ dalam arti batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang memasuki hatimu kecuali Allah.
Menurut penafsiran imam al-junaid tidak hanya sebatas pencarian rezeki yang halal saja dengan menghindari syubhat-syubhat di dalamnya, melainkan juga menyangkut komitmen menjaga diri untuk tidak mengucap hal-hal yang tidak diridhoi  Allah.

d.al-faqr(fakir)
                     fakir biasanya diartikan sebagai orang yang miskin atau butuh. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta yang tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta tetapi tidak juga menolak.
Ketulusaan dalam status kafakiran yang hanya ditujukan kepada Allah saja membuat sang fakir sejati tidak mau mengemis dan meminta-minta pada manusia karena sudah merasa cukup kaya dengan apa yang diperolehnya di sisi Allah.

e.al-shabr(sabar)
                     Menurut al-ghazali sabar ada dua, sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan dengan perbuatan, seperti sabar menahan penyakit yang parah atau luka-luka yang menyakitkan,  hal ini menjadi terpuji bila sesuai dengan syari’ah.
Yang kedua disebut kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabi’at atau tuntutan hawa nafsu.   

f.al-tawakkal(tawakal)
                     Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri. Tawakal menurut imam al-junaid berarti percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai penjamin rezeki bagi setiap makhluk hidup,
Abu nashr al-sarraj berkata “keadaan bertawakal kepada Allah adalah mengabdikan jasad untuk beribadah, mengaitkan hati kepada Allah dan bersikap tenang dalam mencari kebutuhan.
Menurut abu sahl bin ‘abdillah, tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah dalam apapun yang dikehendaki oleh-NYA.

g.al-ridha(ridho)
                     Secara harfiah ridho berarti rela, suka, senang,. Menurut al-qusyairi, ulama irak dan khurasan berbeda pendapat mengenai ridho, apakah ini hal atau maqam.ulama khurasan mengatakan bahwa ridho adalah maqam, sebagai puncak tawakkal kepada Allah. Ini berarti bahwa ridho dapat dicapai oleh si hamba dengan upayanya sendiri. Sedangkan ulama irak mengatakan bahwa riho adalah salah satu ahwal. Jadi bukan sesuatu yang diperolah dengan upaya-upaya seorang hamba, melainkan dengan sesuatu yang memasuki hati, seperti ahwal yang lain. Al-qusyairi kemudian mencari jalan tengah dengan mengatakan bahwa “awal ridho adalah sesuatu yang dicapai oleh sang hamba dan merupakan maqam, tapi pada akhirnya ridho merupakan keadaan rohani (hal) dan bukan sesuatu yang di peroleh dengn upaya manusia .orang yang ridho katanya adalah yang sama sekali tidak menentang takdir-Nya.

2. Ahwal
                        Ahwal bentuk jamak dari hal biasanya diartikan sebagai kedaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan.
Kata hal dalam prespektif tasawuf sering diartikan dengan “keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi yang singgah dalam kolbu merupakn efek dari peningkatan maqamat seseorang.
            Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan arti yang intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau brontak, rasa takut atau suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan karunia (mawahib), Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri berpandapat bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari tuhan ke dalam hati manusia, tanpa ia mampu   menolaknya bila datang, atau meraihnya bila pergi, dengan ikhtiarnya sendiri . Senada dengan kedua sufi diatas, Ibnu ‘Arabi (w.638H./1240 M.) Menyebut hal (keadaan) adalah setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan, fana’ (hilang kesadaran diri), ketidakhadiran dan ridha; eksistensinnya bergantung pada sebuah kondisi. Ia menjadi sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada.
Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dahulu dari para sufi diatas, memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam didalam kalbu dengan sebab dzikir yang tulus”.

Macam-macam akhwal:

1.Muraqabah
Secara literal, muraqabah berrti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya. Sehingga manusi mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini, tetap teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya.

2.qurb
            Secara literal, qurb berarti dekat darinnya dan kepadanya. Menurut sari al-saqathi, qurb(mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara ruwaym ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab, “menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya.
Dalam pandangan al-sarraj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepada-Nya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatanya, dan mengerahkan segala keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian maupun dikala sendiri. Kedekatan allah kepada hambanya banyak disebut dalam firmanNya seperti:
         Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS.Al-Baqarah:186)



3.mahabbah
Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinnya.
Mahabbah ini, disebut Allah dalam ayatnya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (Qs. al-Ali’Imran:31)


4.kawft
Menurut al-Qusyairi takut kepada Allah berarti takut kepada hokum-Nya. “Maka takutlah Kepada-Ku jika kalian orang-orang yang beriman.”
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali-Imran : 175).
Khawf atau takut, adalah masalah yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di masa mendatang.
Al-Ghozali memandang khawf sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa mendatang. Abu Hafs menerangkan bahwa takut adalah cambuk Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya. Takut adalah pelita hati. Dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang. Abu Umar Al Dimasyqi menegaskan bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri melebihi rasa takutnya kepada musuh. Abu Al Qasim Al Hakim memandang orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah akan lari kepada-Nya. Ahmad Al Nuri menegaskan seseorang yang takut adalah yang lari dari Tuhannya kepada Tuhannya. Syah Al kirmani berpendapat  tanda rasa takut adalah sedih yang terus-menerus dan menurut sufi lain, tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang keghaiban.
Ibnu Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah. Untuk memunculkan rasa beralah seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.

5. Raja’
Raja’ atau harapan menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi. Al Ghazali memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya.
 Abu Ali Al-Rudzbari  memandang Khawf dan Raja’ seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya. Raja’ berarti suatu sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh.

6. Syawq
Secara literal, syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang  syawq sebagai derajat atau maqom tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat Syawq ini mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan harapan hendak berjumpa dengan-Nya
Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora agar selalu bersama Dia. Di setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah Syawq (rindu).



7.‘Uns
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.  Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.

8. Thuma ‘Ninah
Secara literal, Thuma’ninah berarti tenang tentram, tidak ada perasaan khawatir atau was-was, tak ada yang dapat ,mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah menurut Al-Sarraj adalah hal yang paling tinggi.  Thuma’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat). Beberapa firman Allah tentang Thuma’ninah, diantaranya:
”Ya” (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Al-Ra’du:28)

9.  Musyahadah
Dalam perpektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37).  Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata.


10. Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki,   karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.


D. KESIMPULAN
            Suluk adalah tindakan kalangan sufi yang dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Allah. Orang yang menjalankan suluk disebut salik.
Tujuan sufi menjalankan suluk itu sendiri yang agar dapat berada sedekat-dekatnya dengan sang pencipta Allah SWT, atau  memperoleh ma’rifah yang sempurna dari Allah.
























                                               
DAFTAR PUSTAKA




Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III,(PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994)

Shihab Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam Sufistik dan Pengaruhnya Hingga Kini,(Mizan, Bandung, 2001)

Mulyadi kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Erlangga, Jakarta, 2006)
Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Pustaka Pelajar, Semarang, 2002)
Dr. M. Fauqi Hajjaj,Tasawuf Islam dan Akhlak,(Amzah, Jakarta,2011)
Prof.Dr.H.Abudinn Nata, M.A. Akhlak Tasawuf, (Rajawali Pers, Jakarta, 2009)