A.PENGERTIAN
SULUK
Secara etimologis, kata suluk
berarti jalan atau cara, bisa juga diartikan kelakuan atau tingkah laku, sehingga Husnu al-Suluk berarti
kelakuan yang baik. Kata suluk adalah bentuk masdar yang diturunkan dari bentuk
verbal "salaka yasluku" yang secara harfiah mengandung beberapa arti
yaitu "Memasuki, melalui jalan, bertindak dan memasukkan"
Khan Sahib Kahja Khan (pakar bidang
tasawuf dari India) mangatakan bahwa salik ialah orang yang tengah menempuh
perjalan rohani (suluk).
Cgril Glasse dalam Ensiklopedi Islam, yang dimaksud
suluk adalah keadaan jiwa atau tindakan kalangan sufi yang dipandang sebagai
sebuah perjalanan kepada Allah.
Menurut al-Gazali,
suluk berarti menjernihkan akhlak, amal pengetahuan. Suluk dilakukan dengan cara
aktif berkecimpung dengan amal lahir dan amal batin. Semua kesibukan hamba
dicurahkan kepada Tuhannya, dengan membersihkan bathinnya untuk persiapan wushul
kepada-Nya.
Gufron A. Mas 'Adi dalam Ensiklopedi
Islam mengatakan, suluk merupakan keadaan jiwa atau tindakan kalangan sufi yang
dipandang sebagai sebuah perjalanan kepada Tuhan. Istilah ini juga menunjukkan
pada sebuah quasi magis, dan sebuah ucapan spiritualis yang bercorak
lokal Indonesia dikenal sebagai upacara suluk. Dalam upacara ini
pelakunya berusaha mencapai kekuatan psikis atau magisdengan mempertahankan
diri dari serangan dunia spirit selama satu malam, yang mana seseorang
dimatikan secara simbolik.
Secara garis besar suluk merupakan
kegiatan seseorang untuk menuju kedekatan diri kepada Allah, suluk hampir sama
den gan tarekat, yakni cara mendekakan diri kepada Tuhan. Hanya saja, kalau
tarekat masih bersifat konseptual, sedan gkan suluk sudah dalam bentuk teknis
oprasional. Oprasional dalam arti yang sesungguhnya: bukan hanya sekedar teori
melainkan langsung dipraktikkan dalam tingkah laku keseharian, kata suluk berasal
dari terminologi dalam al-Quran, Fasluki dalam surat an-Nahl (16) Ayat
69.
Suluk di dalam istilah tasawuf adalah
jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah swt atau cara memperoleh ma'rifat.
Dalam istilah selanjutnya istilah ini digunakan untuk sesuatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ihwal (keadaan
mental) atau maqam tertentu.
Dalam memahami tasawuf, suluk
diartikan sebagai perjalanan spiritual menuju Sang Sumber. Ini adalah
metode perjalanan melalui berbagai keadaan dan kedudukan. Seseorang yang
menempuh jalan ini disebut salik Sang hamba yang telah jauh berjalan
menuju Allah adalah yang telah sungguh-sungguh menunjukkan penghambaanya kepada
Allah.
Adapun hakekat
suluk, ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (dari maksiat lahir dan
dari maksiat bathin) dan mengisinya dari sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah
(dengan taat lahir dan bathin).
Salik adalah seseorang yang berpegang teguh dalam menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah SWT dan Baginda Nabi SAW untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.Ketika belajar tepat waktu dalam menjalankan shalat lima waktu,
itu artinya kita mengikuti suluk. Suluk artinya jalan spiritual. Dan jalan yang
kita tempuh tadi berada dalam tingkatan mubtadiin atau pemula. Seorang salik
akan istiqomah dalam menjalankan syariat. Ia selalu berusaha shalat tepat waktu
dan tidak mengakhirkannya.ketika sudah istiqomah menjalankan sholat lima waktu
pada waktunya, kita belajar untuk tidak meninggalkan apa yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad SAW, seperti shalat sunah qabliyah dan ba’diyah. Sebab shalat
sunah tersebut selain untuk mendapat nilai tambah, juga kita belajar memerangi
nafsu kita yang selalu ingin buru-buru selesai menjalankan shalat
fardhu.Teruslah istiqamah menjalankan shalat sunnah qabliyah dan shalat sunnah
ba'diyah sebagaimana yang dikerjakan Rasulullah SAW.Lalu kita beristiqamah lagi
dengan bersalik, yaitu bagaimana menjaga agar setiap hari agar kita tidak
melanggar apa yang dilarang Allah, serta terus berusaha sesuai kemampuan kita
menjalankan perintah Allah selain yang wajib seperti mengikuti sunnah Nabi SAW,
setapak demi setapak, atau setahap demi setahap.Perjalanan salik ini tidak
hanya sewaktu mengikuti suluk di thariqah, tapi kita juga dituntut untuk
mengamalkan amal perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala, kapan
saja dalam suluk atau pun tidak
Jadi arti salik dan suluk luas sekali. Suluk yang menjadi inti thariqah
adalah melatih hati kita supaya tidak lupa kepada Allah dan apa yang dajarkan
oleh Baginda Nabi SAW. Ibarat arloji ditangan kita. Jarum jamnya terus
berputar, tetapi kita tetap terus berakitivitas. Hati kita terus berzikir,
tubuh kita tetap beraktivitas.Namun dzikir itu tidak sekedar berdzikir. Tapi
ketika menyebut nama Allah, kita merasa didengar dan dilihat oleh-Nya dan kita
mengetahui ke-maha-an sifat Allah SWT, yang serba maha dalam segala sifatnya.
Jadi, apakah kita merasa jadi bagian dari yang dilihat Allah atau tidak, dan
merasa jadi bagian yang didengar atau tidak. Dan bilamana kita sudah merasa
didengar dan dilihat oleh Allah Ta’ala, Insya Allah, kita akan menjauhkan diri
dari perbuatan yang dilarang Allah, dan dilarang Baginda Nabi SAW. Itulah
tujuan suluk dalam thariqah.
B. TUJUAN SULUK
Tujuan sufi (salik) melakukan suluk adalah
untuk mencapai ma’rifat yang sempurna dari allah SWT.Istilah Ma'rifat berasal
dari kata "Al-Ma'rifah" yang berartimengetahui atau mengenal sesuatu.
Dan apabila dihubungkan denganpengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini
berarti mengenalAllah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.Kemudian
istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa UlamaTasawuf; antara lain:Dr.
Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawufyang
mengatakan:"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujudyang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaannya."Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan
pendapatAbuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:"Ma'rifat adalah
hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalamkeadaan hatinya selalu berhubungan
dengan Nur Ilahi..."Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman
bin Muhammadbin Abdillah yang mengatakan:"Ma'rifat membuat ketenangan dalam
hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran).
Barangsiapa yangmeningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan
(hatinya)."
marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai
dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut
ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap
orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut
ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat menurut
bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat menurut
istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala
sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar,
merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya
semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya
dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat, sebagai
pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat
pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat
kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai
pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat
ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan
kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang
telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia
gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan
kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia.
Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup
partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan
kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang
hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia
tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional,
tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari
Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan
nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan
ruhani.
Makrifat merupakan
ilmu yang tidak menerima keraguan yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan,
yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan
yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang
diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:
“Sesungguhnya ilmu
yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu
terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan
juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk
itu”.
Secara definitif,
makrifat menurut al-Gazali ialah:
“Terbukanya
rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi
segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran
tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi
juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada
semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai
tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya
yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya
peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang
dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah
dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat
dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan,
bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap
hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya,
al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap
ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. memandang
kepada wajah Allah ta’ala.
C.JALAN MANCAPAI SULUK
Jalan yang dilakukan oleh sufi untuk mencapai suluk adalah sebagai
berikut;
1.Maqamat
Maqamat jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap
perjalanan atau secara lebih popular diterjemahkan sebagai “stasiun” tidak
ubahnya seperti stasiun kereta api yang harus kitaa lalui sepanjang perjalanan,
dari “titik start” kita sampai kepada “finish” sebagai tujuan akhir perjalanan.
Secara harfiah maqamat
berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal
muliah. Atau istilah lain sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan allah. Dalam bahasa inggris maqamat
dikenal dengan istilah stages yang
berarti tangga
Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang
dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada
hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang penjang dan melelahkan untuk
melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia, yang dipandang berhala terbesar dank
arena itu kendala menuju tuhan.
Maqamat yang disepakati:
a.al-taubah(taubat)
taubat
adalah menyesali tindak kelalaian kepada Allah yang telah tejadi disertai
tekad kuat untuk melekatkan diri dengan
jalan taswuf, landasan tasawuf yang benar adalah taubat yang sesungguh-sungguhnya yang menjadi titik total
seorang hamba dalam meninggalkan dosa-dosa secara total.
Menurut imam al-junaid “ taubat memiliki tiga
pengertian , pertama sesal, kedua tekad untuk tidak mengulangi
perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan ketiga
usaha mengembalikan mazhalim(orang
yang dizalimi)
b.al-zuhud(zuhud)
zuhud disini
adalah zuhud kepada dunia. menurut shaafwan al-tsauri zuhud adalah membatasi
keinginan untuk memperoleh dunia, dan bukan dalam arti makan makanan yang kasar
atau mengenakan jubah dari kain kasar. Abu utsman berkata, “zuhud adalah
hendaknya engkau meninggalkan dunia untuk kemudian tidak peduli dengan mereka
yang mengambilnya. Buah dari zuhud adalah kedermawanan. Adapun pertanda zuhud
adalah adanya sikap tenang ketika ketika berpisah dengan harta milik. Dikatakan
bahwa bagi orang yang benar-benar zuhud , dunia akan menyerahkan diri kepadanya
dengan penuh kerendahan dan kehinaan.
c.al-wara
selanjutnya,
al-wara menurut Abu ‘Ali Daqqaq, adalah “meninggalkan apapun yang syubhat. Atau
seperti yang dikatakan Ibrahim ibn adam , yaitu meninggalkan segala sesuatu
yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.
Wara’ didefinisikan secara lebih luas oleh al-sibli sebagi menjauhi segala
sesuatu selain Allah. Yahya ibn mu’ads membagi wara’ menjadi dua , wara’ dalam
pengertian zikir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
tindakanpun selain Allah, dan wara’ dalam arti batin, yaitu sikap yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang memasuki hatimu kecuali
Allah.
Menurut penafsiran imam al-junaid tidak hanya sebatas pencarian rezeki
yang halal saja dengan menghindari syubhat-syubhat di dalamnya, melainkan juga
menyangkut komitmen menjaga diri untuk tidak mengucap hal-hal yang tidak
diridhoi Allah.
d.al-faqr(fakir)
fakir biasanya
diartikan sebagai orang yang miskin atau butuh. Sedangkan dalam pandangan sufi,
fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak
meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak
meminta yang tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima, tidak meminta
tetapi tidak juga menolak.
Ketulusaan dalam status kafakiran yang hanya ditujukan kepada Allah saja
membuat sang fakir sejati tidak mau mengemis dan meminta-minta pada manusia
karena sudah merasa cukup kaya dengan apa yang diperolehnya di sisi Allah.
e.al-shabr(sabar)
Menurut
al-ghazali sabar ada dua, sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan
dan ketegaran memikul beban dengan badan. Kesabaran seperti ini kadang
dilakukan dengan perbuatan, seperti sabar menahan penyakit yang parah atau
luka-luka yang menyakitkan, hal ini
menjadi terpuji bila sesuai dengan syari’ah.
Yang kedua disebut kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran
yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabi’at
atau tuntutan hawa nafsu.
f.al-tawakkal(tawakal)
Secara harfiah
tawakal berarti menyerahkan diri. Tawakal menurut imam al-junaid berarti
percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai penjamin rezeki bagi setiap makhluk
hidup,
Abu nashr al-sarraj berkata “keadaan bertawakal kepada Allah adalah
mengabdikan jasad untuk beribadah, mengaitkan hati kepada Allah dan bersikap
tenang dalam mencari kebutuhan.
Menurut abu sahl bin ‘abdillah, tawakal adalah menyerahkan diri kepada
Allah dalam apapun yang dikehendaki oleh-NYA.
g.al-ridha(ridho)
Secara harfiah
ridho berarti rela, suka, senang,. Menurut al-qusyairi, ulama irak dan khurasan
berbeda pendapat mengenai ridho, apakah ini hal
atau maqam.ulama khurasan
mengatakan bahwa ridho adalah maqam, sebagai puncak tawakkal kepada Allah. Ini
berarti bahwa ridho dapat dicapai oleh si hamba dengan upayanya sendiri.
Sedangkan ulama irak mengatakan bahwa riho adalah salah satu ahwal. Jadi bukan
sesuatu yang diperolah dengan upaya-upaya seorang hamba, melainkan dengan
sesuatu yang memasuki hati, seperti ahwal yang lain. Al-qusyairi kemudian
mencari jalan tengah dengan mengatakan bahwa “awal ridho adalah sesuatu yang
dicapai oleh sang hamba dan merupakan maqam, tapi pada akhirnya ridho merupakan
keadaan rohani (hal) dan bukan sesuatu yang di peroleh dengn upaya manusia
.orang yang ridho katanya adalah yang sama sekali tidak menentang takdir-Nya.
2. Ahwal
Ahwal bentuk jamak dari hal biasanya diartikan sebagai kedaan
mental (mental states) yang dialami oleh
para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari tuhan.
Kata hal dalam prespektif tasawuf sering diartikan dengan
“keadaan”, maksudnya adalah keadaan atau kondisi spiritual. Hal, sebagai suatu kondisi
yang singgah dalam kolbu merupakn efek dari peningkatan maqamat seseorang.
Secara lebih jauh, al-Qusyairi melihat bahwa hal merupakan
arti yang intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan
usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau
brontak, rasa takut atau suka cita. Maka setiap hal, kata al-Qusyairi merupakan
karunia (mawahib), Hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam diperoleh
melalui upaya perjuangan. Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri berpandapat
bahwa hal ialah sesuatu yang turun dari tuhan ke dalam hati manusia, tanpa ia
mampu menolaknya bila datang, atau meraihnya bila pergi, dengan
ikhtiarnya sendiri . Senada dengan kedua
sufi diatas, Ibnu ‘Arabi (w.638H./1240 M.) Menyebut hal (keadaan) adalah setiap
sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang
lain, seperti kemabukan, fana’ (hilang kesadaran diri), ketidakhadiran dan
ridha; eksistensinnya bergantung pada sebuah kondisi. Ia menjadi sirna manakala
kondisi tersebut tidak lagi ada.
Al-Sarraj, sebagai sufi yang hidup lebih dahulu
dari para sufi diatas, memandang bahwa ahwal adalah “Apa-apa yang bersemayam
didalam kalbu dengan sebab dzikir yang tulus”.
Macam-macam akhwal:
1.Muraqabah
Secara literal, muraqabah berrti menjaga atau mengamati tujuan.
Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan
hatinnya. Sehingga manusi mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan
penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.Menurut
al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri
juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah
ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai
apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini,
tetap teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh
hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat
kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah
melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.Muraqabah menurut al-Sarraj,
adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya.
2.qurb
Secara literal,
qurb berarti dekat darinnya dan kepadanya. Menurut sari al-saqathi,
qurb(mendekatkan diri kepada Allah) adalah taat kepada-Nya. Sementara ruwaym
ibn Ahmad ketika ditanya tentang qurb, menjawab, “menghilangkan setiap hal yang
merintangi dirimu untuk bersama-Nya.
Dalam pandangan al-sarraj, qurb adalah
penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepada-Nya, maka ia
mendekat kepada Allah dengan ketaatanya, dan mengerahkan segala keinginannya
kepada Allah semata dengan cara mengingatnya secara kontinu baik pada keramaian
maupun dikala sendiri. Kedekatan allah kepada hambanya banyak disebut dalam
firmanNya seperti:
“Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
(QS.Al-Baqarah:186)
3.mahabbah
Mahabah secara literal
mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabbah berasal dari kata
hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber
kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa di
telusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah
kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada tuhan dan apa-apa yang
berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah
mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali al-Kattani juga memandang cinta
sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang
dikasihinnya.
Mahabbah
ini, disebut Allah dalam ayatnya:
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Ali’Imran:31)
4.kawft
Menurut al-Qusyairi
takut kepada Allah berarti takut kepada hokum-Nya. “Maka takutlah Kepada-Ku
jika kalian orang-orang yang beriman.”
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah
syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik
Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali-Imran :
175).
Khawf atau takut, adalah masalah yang berkaitan
dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang hanya merasa takut jika apa
yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan kenyataan itu hanya terjadi di
masa mendatang.
Al-Ghozali memandang khawf sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa mendatang. Abu Hafs menerangkan bahwa takut adalah cambuk Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya. Takut adalah pelita hati. Dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang. Abu Umar Al Dimasyqi menegaskan bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri melebihi rasa takutnya kepada musuh. Abu Al Qasim Al Hakim memandang orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah akan lari kepada-Nya. Ahmad Al Nuri menegaskan seseorang yang takut adalah yang lari dari Tuhannya kepada Tuhannya. Syah Al kirmani berpendapat tanda rasa takut adalah sedih yang terus-menerus dan menurut sufi lain, tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang keghaiban.
Al-Ghozali memandang khawf sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa mendatang. Abu Hafs menerangkan bahwa takut adalah cambuk Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya. Takut adalah pelita hati. Dengan takut akan tampak baik dan buruk hati seseorang. Abu Umar Al Dimasyqi menegaskan bahwa orang yang takut adalah yang takut akan dirinya sendiri melebihi rasa takutnya kepada musuh. Abu Al Qasim Al Hakim memandang orang yang takut kepada sesuatu akan lari darinya, sedang orang yang takut kepada Allah akan lari kepada-Nya. Ahmad Al Nuri menegaskan seseorang yang takut adalah yang lari dari Tuhannya kepada Tuhannya. Syah Al kirmani berpendapat tanda rasa takut adalah sedih yang terus-menerus dan menurut sufi lain, tanda rasa takut adalah kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang keghaiban.
Ibnu Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan
bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan
dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah. Untuk memunculkan
rasa beralah seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil
merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau
masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini
sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang
dikehendaki Allah.
5. Raja’
Raja’ atau harapan
menurut Al Qusyairi adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya
terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan
apa yang akan terjadi dimasa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan
akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan
mata keindahan. Harapan adalah kedekatan hati kepada kemurahan Tuhan. Harapan
berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi. Al Ghazali
memandang Raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu Sang Kekasih datang kepadanya.
Abu Ali Al-Rudzbari
memandang Khawf dan Raja’ seperti sepasang sayap burung. Apalabila takut dan
harap keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya.
Raja’ berarti suatu sikap mental optimism dalam memperoleh karunia dan nikmat
ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh.
6. Syawq
Secara literal,
syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq
merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat.
Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut Abu Utsman siapa
yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Rasa rindu
tak mungkin ada pada yang mencinta. Sementara itu, Dzunun memandang syawq
sebagai derajat atau maqom tertinggi. Jika sang hamba sudah mencapai derajat
Syawq ini mati rasanya mudah dan ringan karena kerinduan kepada Tuhannya dan
harapan hendak berjumpa dengan-Nya
Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan
menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta
dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat akan selalu bergelora
agar selalu bersama Dia. Di setiap denyutan jantung, detak kalbu, dan desah
nafas, serta ingatan hanya kepada Allah, itulah Syawq (rindu).
7.‘Uns
Dalam tasawuf ‘Uns
berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah
perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun
memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap
Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar
bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan
hubungan selain dengan-Nya.”. Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi
seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening
zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
8. Thuma ‘Ninah
Secara literal, Thuma’ninah berarti tenang tentram, tidak ada perasaan
khawatir atau was-was, tak ada yang dapat ,mengganggu perasaan dan pikiran,
karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.
Thuma’ninah menurut Al-Sarraj adalah hal yang paling tinggi. Thuma’ninah
bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya
dan kokoh realitasnya (haqiqat). Beberapa firman Allah tentang Thuma’ninah,
diantaranya:
”Ya” (yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”(QS. Al-Ra’du:28)
9. Musyahadah
Dalam perpektif
tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan
sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa
dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan
dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat
dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat
Tuhan, ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku
dapat melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi
Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang
tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan.
Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti
menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata.
10. Yaqin
Perpaduan antara
pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora
bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan
tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut
dengan Al Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang
kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri
menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
Keyakinan menurut Al Sarraj merupakan hal yang
tinggi. Ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir
dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang
nampak (Zahir) Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.
D. KESIMPULAN
Suluk adalah tindakan kalangan sufi yang dipandang sebagai sebuah
perjalanan kepada Allah. Orang yang menjalankan suluk disebut salik.
Tujuan sufi menjalankan suluk itu sendiri yang agar dapat berada
sedekat-dekatnya dengan sang pencipta Allah SWT, atau memperoleh ma’rifah yang sempurna dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III,(PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994)
Shihab Alwi,
Antara Tasawuf Sunni dan Falsafi dalam Islam Sufistik
dan Pengaruhnya Hingga Kini,(Mizan, Bandung, 2001)
Mulyadi kartanegara, Menyelami
Lubuk Tasawuf, (Erlangga, Jakarta, 2006)
Amin
Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Pustaka
Pelajar, Semarang, 2002)
Dr. M. Fauqi Hajjaj,Tasawuf Islam dan Akhlak,(Amzah, Jakarta,2011)
Prof.Dr.H.Abudinn Nata, M.A. Akhlak Tasawuf, (Rajawali Pers, Jakarta, 2009)