Fiqih Jinayah
syubhat

DisusunOleh:
Amri Wahyudi 13150010
Meri filadamayanti 13150040
Dosen Pembimbing : Andi Candra Jaya M.Hum
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015
Daftar isi
Kata pengantar..................................................................................................................... 1
1.
Pedahuluan........................................................................................................................... 2
a.
Latar belakang.................................................................................................... 2
b.
Rumusan masalah............................................................................................... 2
2.
Pembahasan......................................................................................................................... 3
a.
Pengertian syubhat............................................................................................. 3
b.
Dasar-dasar hukum syubhat............................................................................... 4
c.
Macam-macam syubhat..................................................................................... 4
d.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi hukum.......................................................... 10
3.
Penutup.............................................................................................................................. 11
Kesimpulan...................................................................................................... 11
Daftar pustaka................................................................................................................... 12
Kata Pengantar
Assalammua’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kami curahkan kepada tuhan yang maha esa , yang telah
memberikan kemudahan bagi kami untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini
karena kami yakin atas izin Allah semuanya berjalan seperti yang kami harapkan.
Shalawat serta salam kami curahkan pada Nabi Agung, yakni Nabi
Muhammad SAW, karena berkat perjuangan
beliaulah kita bisa merasakan indahnya islam, manisnya iman dari zaman
jahiliyah hingga zaman dimana kita bisa membedakan mana yang haq dan mana yang
batil.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut andil
dalam penyusunan makalah ini terutama Bapak Andi Candra Jaya M.Hum selaku dosen
pembimbing, kami mengucapkan permohonan maaf kami yang sedalam-dalamnya kita terdapat
banyak kesalahan dalam penyusunan karya ilmiah ini, kami merharapkan sumbangsi
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah dimasa mendatang.
Harapan kami semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kita
semua sebagai penambah ilmu pengetahuan kita bersama, mungkin hanya sampai
disini penyampaian kami , akhir kalam wassalamu’alaikum warohmatullahi
wabarakatuh.
Palembang,
6 mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam memiliki prinsip dasar, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan
perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam.
Sabda Rasulullah SAW,"Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga
hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam)." Maka dari itu, sudah
seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-haramnya perbuatan
yang dilakukannya dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya makanan, obat, perilaku,
ibadah dan lain-lain.
Maknanya adalah yang halal itu jelas, tidak meragukan, sebagaimana yang
haram juga jelas, tidak meragukan. Di antara keduanya ada barang yang syubhat
yang kebanyakan manusia terjerumus ke dalamnya dan mereka tidak tahu apakah itu
halal atau haram. Apabila tidak tahu halal dan haram suatu hal, maka akan
timbul suatu penyakit yaitu syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit
syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya
sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau
Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya. Seringkali penyakit
hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat
bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit
tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar
kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat
luka-luka dari berbagai perbuatan buruk.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dalam
pembahasan di makalah ini adalah:
1. Apa pengertian syubhat?
2. Syubhat dan macam-macamnya?
3. sumber hukum syubhat ?
4.apa saja hal-hal yang dapat
mempengaruhi hukuman?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SYUBHAT
Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran,
sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat
terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau
ketidakjelasan sifat atau faktanya. Syubhat berbeda dengan perkara yang sudah
jelas pengharamannya, atau dengan halal, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat
muncul karena ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Kondisi tersebut akan
terus meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan
sikap, hingga datangnya penjelasan dari ulama. Kondisi seperti ini umumnya
dialami kebanyakan oleh kelompok awam. Syubhat sesungguhnya menggambarkan
pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara.
Sebab, dalam pandangan hukum syariat, tidak ada satu pun masalah yang tidak
memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya
bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas. Seseorang yang
masih ragu-ragu terhadap hukum suatu perkara, dan belum jelas mana yang benar
baginya, maka perkara itu dianggap syubhat baginya, dia harus menjauhi perkara
tersebut hingga jelas baginya status kehalalannya. Sedangkan bagi orang yang
tahu), status perkaranya sudah jelas, walau kadang terdapat perbedaan pendapat
dikalangan Ahlul ilmi (ulama), utamanya di antara mazhab-mazhab fiqih.
Menurut Abdul qadis audal syubhat adalah
sesuatu yang ketentuan hukumannya tidak diketahui secara pasti, apakah
dihalalkan ataukah diharamkan. Dalam pengertian yang lebih luas, syubhat adalah
sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung
kemungkinan benar atau salah. didalamnya terdapat dua macam keyakinan yang
berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan
tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan
syubhat adalah; “sesuatu yang menyerupai tetap (pasti) tetapi tidak
tetap (pasti).” Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syubhat itu adalah suatu
peristiwa atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di antara
ketentuan hukum, yaitu dilarang atau tidak.[1]
B.
DASAR-DASAR HUKUM SYUBHAT
Dari Nu’man bin Basyir
Rasulullah SAW Bersabda : yang halal itu telah jelas halalnya dan yang haram
itu telah jelas haramnya. Diantara yang halal dan haram itu terdapat hal-hal
yang tidak jelas hukum halal dan haramnya, dan tidak diketahui oleh kebanyakan manusia.
Siapa yang memelihara diri dari hal yang syubhat, maka ia bebas dari celaan
agama dan citra dirinya dari gunjingan dari orang lain. Dan orang yang terlibat
dalam syubhat seolah-olah ia berada diwilayah yang haram, seperti seorang
gembala yang menggembalakan ternaknya disekitar kawasan terlarang karena
dikhawatirkan ternaknya memakan tanaman orang lain. (HR. Muslim)
Dari Abu Muhammad Hasan Bin
Ali Bin Abu Thalib, cucu kesayangan Rasulullah SAW berkata: aku hafal sabda
Rasulullah: tinggalkanlah hal yang meraguka kepada yang tidak meragukan.
(HR. Tirmidzi dan an-nasa’i)[2]
Dalam pelaksanaan hukum pidana islam, hal-hal yang
bersifat syubhat tidak dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan suatu
hukum. Hal ini didasarkan ada hadits:
Hindari suatu hukum dengan
dasar syubhat (samar-samar) (HR. Ibnu majah)
Hadits lain ialah yang diriwayatkan dari Aisyah binti Abu
Bakar : dihindarkan hukuman had dari kaum muslimin, selama masih mungkin,
jika ada dasar untuk terlepasnya seorang dari hukuman, maka bebaskanlah ia.
Seorang hakim lebih baik keliru dalam memberikan ampunan
daripada keliru dalam menetapkan hukuman (HR. At-tirmidzi)
Secara jelas hadits ini
menerangkan bahwa pidana hudud tidak boleh diterapkan atas dasar syubhat.
C.
MACAM-MACAM SYUBHAT
Golongan Syafi’iyah dan
Hanafiyah mengadakan pembagian syubhat ini, sedangkan ulama-ulama yang lain
tidak membaginya, melainkan mencukupkan dengan mengemukakan apa yang dianggap
sebagai syubhat dan apa alasan dari anggapan itu. Hal itu karena syubhat
jenisnya sangat banyak dan tidak mungkin dihitung satu per satu, karena ia
mengikuti peristiwa peristiwa yang terjadi yang selalu berkembang.Golongan
Syafi’i membagi syubhat ini kepada tiga bagian sebagai berikut:
1. Syubhat dalam objek atau tempat.
Contohnya adalah menyetubuhi isteri yang sedang
haid atau sedang berpuasa, atau menyetubuhi istri pada duburnya. Dalam contoh
ini syubhat terdapat dalam objek (tempat) dilakukanya perbuatan terlarang,
karena istri (objek) dimiliki oleh suami, dan adalah haknya menyetubuhi istrinya.
Akan tetapi karena istri sedang haid atau puasa ramadhan, atau menyetubuhi pada
duburnya maka persetubuhan itu dilarang. Hanya saja keadaan istri yang milik
suami dan adanya hak suami untuk menyetubuhinya, menyebabkan syubhat pada
persetubuhan tersebut dan menyebabkan terbebas dari hukuman had. Keyakinan
pelaku tentang halal-haramnya perbuatan, tidak ada pengaruhnya, karena dasar
dari syubhat disini bukan keyakinan atau dugaan pelaku, melainkan tempat atau
objek perbuatan dan kewenangan yang diberikan oleh syara’ kepada pelaku. Contohlain
ialah pencurian terhadap harta anak kandung sendiri. Tindakan pencurian
dilarang syara’, dan diancam hukuman potong tangan seperti yang diterangkan
dalam surat al-maidah ayat 38:
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan”
Namun disisi lain Nabi SAW bersabda
“engkau dan hartamu menjadi milik ayahmu” (HR. Ibnu majah)
Pencurian dalam kasus ini termasuk dalam
kategori syubhat, sehingga seorang ayah yang mencuri harta anak terhindar dari
hukuman pencurian. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW di atas. Sehingga
ayah tidak dapat dituduh sebagai pencuri, sehingga hukuman yang dikehendaki
tidak dapat diterapkan.
2. syubhat pada pelaku (subjek). Syubhat disini bukan terletak pada objek perbuatan,
melainkan pada dugaan dan keyakinan pelaku. Contohnya menyetubuhi wanita yang
tidur di kamar seorang suami yang di sangka sebagai istrinya dikarenakan
ruangan yang gelap, padahal sebenarnya seorang tamu. Peristiwa ini menimbulkan
syubhat dan dasar dari syubhat disini adalah sangkaan dan keyakinan pelaku
bahwa perbuatan yang dilakukanya bukan perbuatan yang di larang. Adanya syubhat
ini kemudian dapat mengakibatkan hapusnya hukuman had bagi pelaku tersebut.
3. syubhat pada jihat atau aspek
hukum. Adapun yang dmaksud syubhat model
ini adalah syubhat dalam ketidakjelasan hukum halal-haramnya perbuatan. Dasar
dari syubhar ini adalah adanya perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai
hukum perbuatan tesebut. Dengan demikian, setiap perbuatan yang diperselisihkan
oleh para fuqaha mengenai hukum halal haramnya maka perselisihan tersebut
menyebabkan timbulnya syubhat dan dapat menggugurkan hukuman had. Contohnya :
nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah membolehkanya, sedangkan ulama lain, seperti
Imam Syafi’i tidak membolehkanya. Contoh yang lain; Imam Malik membolehkan
nikah tanpa saksi, sementara menurut ulama lain, saksi merupakan syarat sah
nika yang wajib dipenuhi. Ibnu Abbas dan golongan Syi’ah membolehkan nikah
mut’ah, sedangkan ulama yang lain tidak membolehkanya. Karena adanya perbedaan
pendapat antara hukum pernikahan tersebut maka timbulah syubhat dalam
persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang melakukan pernikahan semacam itu.
Dengan adanya syubhat tersebut, pelaku tidak dikenakan hukuman had.
Golongan Hanafiyah membagi syubhat tersebut menjadi
dua bagian:
1. syubhat dalam perbuatan. Syubhat ini berlaku dalam hak nya orang yang merasa
ragu-ragu tentang hukum suatu perbuatan, bahkan bagi orang yang tidak
meragukanya. Syubhat ini disebut juga syubatul isytibah atau syubatul
musyabahah. Syubhat ini terjadi dalam hak orang yang meragukan tentang halal
atau haramnya suatu perbuatan bagi dirinya, dan tidak ada dalil yang menunjukan
halalnya, melainkan ia menyangka seuatu yang bukan dalil. Contohnya adalah
laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam
iddah. Dalam kasus ini jelas persetubuhanya dilarang karena hubungan perkawinan
mereka telah putus dengan talak tiga. Akan tetapi hukuman had dapat dihapus
apabila ia menyangka bekas istrinya itu masih halal baginya untuk disetubuhi,
dengan alasan tidak ada hak nasab bagi anak yang lahir dalam masa kurang dari
dua tahun sejak dijatuhkanya talak. Di samping itu dalam masa iddah, suami
masih diwajibkan memberikan nafkah dan membolehkan bekas istrinya untuk tinggal
di rumahnya. Sangkaan tersebut meskipun tidak pantas dijadikan alasan (dalil)
halalnya perbuatan (persetubuhan), namun karena ia menganggapnya sebagai dalil
(alasan) maka hal itu dapat menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman
had, Perbuatan itu adalah haram bagi mereka yang dapat dijatuhi hukuman
had tapi mereka tidak dihukum dengan pidana hudud (zina) karena terdapat unsur
syubhat sehingga ia menganggap halal. Namun demikian, suami isteri itu tetap
dikenakan hukuman ta’zir. Sehubungan alasan ini tidak kuat untuk menghalallkan
persetubuhan tetapi cukup sebagai alasan menolak hukuman hudud.
2. syubhat dalam tempat atau objek.
Syubhat ini disebut syubhatul hukmiyah atau
syubhatul milk. Syubhat ini terjadi apabila tidak ada kejelasan dalam hukum
syara’ tentang halalnya objek, bukan dalam sangkaan pelaku. Dalam syubhat jenis
ini disyaratkan bahwa syubhat timbul dari hukum syara’, dengan adanya dalil
syar’i yang menghilangkan keharaman perbuatan tersebut. Golongan Hanafiyah
memberikan contoh kasus jarimah zina yang termasuk syubhatul mahal (syubhat
dalam objek).
a. wathul maharim. Adapun yang dimaksud dengan wathul maharim adalah menyetubuhi wanita
muhrim yang dinikahi. Hukum pernikahan ini adalah batal menurut kesepakatan
para ulama. Dengan demikian apabila terjadi persetubuhan dengan wanita muhrim
yang dinikahi, menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Zhahiriyah, Syi’ah Zaydiyah,
dan Abu Yusuf serta murid Imam Abu Hanifah maka pelaku harus dikenakan hukuman
had karena di sana tidak ada syubhat. Akan tetapi, Abu Hanifah berpendapat
bahwa orang yang kawin dengan seorang wanita yang tidak halal baginya untuk
dinikahi kemudian ia melakukan persetubuhan denganya maka tidak dikenai hukuman
had, walaupun ia tahu wanita itu haram untuk dinikahinya. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa dalam hal ini terdapat syubhat, yaitu adanya akad nikah yang
merupakan sebab dibolehkannya persetubuhan pada umumnya. Akan tetapi karena
pernikahan itu dilarang maka sebab kebolehan menjadi hilang dan tinggalah
bentuk syubhatnya. Dengan adanya syubhat yang menggugurkan hukum had maka
hukuman yang dikenakan pada pelaku adalah hukum ta’zir.
Akan tetapi, ulama-ulama lain menolak argumantasi yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dengan alasan persetubuhan yang dilakukan terhadap farji yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap perbuatan zina yang harus dikenakan hukum had.dalam hal ini, akad nikah yang dilakukan adalah akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal itu tidak dapat dianggap sebagai syubhat.
Akan tetapi, ulama-ulama lain menolak argumantasi yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dengan alasan persetubuhan yang dilakukan terhadap farji yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap perbuatan zina yang harus dikenakan hukum had.dalam hal ini, akad nikah yang dilakukan adalah akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal itu tidak dapat dianggap sebagai syubhat.
b. persetubuhan dalam pernikahan
yang batal. Apabila terjadi persetubuhan
dalam lingkungan pernikahan yang batal, seperti nikah dengan istri yang ke
lima, atau dengan wanita yang bersuami atau yang di talak tetapi masih dalam
masa idah maka persetubuhan tersebut merupakan zina dan harus dikenai hukuman
had. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi menurut Imam Abu
Hanifah akad tersebut meskipun batal, tetap menimbulkan syubhat yang dapat
menimbulkan gugurnya hukuman had, sehingga yang demikian perlu dikenai hukuman
ta’zir.
c. persetubuhan dalam pernikahan
yang diperselisihkan hukumnya. Persetubuhan
dalam pernikahan yang diperselisihkan hukum sahnya, seperti nikah mut’ah,
muhallil, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, tidak dianggap sebagai zina, dan
pelaku tidak dikenai hukuman had. Hal ini disebabkan karena pernikahan tersebut
menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had.
d. Persetubuhan karena dipaksa.
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman
had bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina).
Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat. Dasar
hukumnya adalah ;
“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya…”
(Q.S al-Baqarah:173)
“…ALLAH telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” ( Q.S al-An’am :119)
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn
majah, Baihaqi. Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya ALLAH mengampuni umatku atas
perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas nya”
Akan tetapi jika yang dipaksa berzina
adalah laki-laki, menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mahdzab Maliki,
hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Syi’ah Zaydiyah, ia tetap dikenai hukuman had.
Alasanya adalah jika yang dipaksa itu wanita, kemungkinanya besar sekali karena
wanita tugasnya itu adalah menyerahkan dirinya. Tetap jika laki-laki tidak bisa
dikatakan dipaksa jika alat kelaminya menegang, karena tegangnya itu menunjukan
kesediaanya. Apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi dipaksa maka disini
dikenakan hukuman had.
Menurut pendapat yang rajih (kuat) dari
mahzab mahzab tersebut, tidak ada hukuman had bagi laki-laki yang dipaksa untuk
berzina, karena paksaan itu bagi laki-laki maupun perempuan statusnya sama
saja. Alasanya masalah tegangnya kelamin itu kadang-kadang merupakan pembawaan
(tabiat) dan itu lebih menunjukan sifat kejantananya daripada kesediaanya.
Terlepas dari itu semua, ikrah (paksaan) itu merupakan syubhat yang dapat
menyebabkan gugurnya hukuman had.
Golongan zhahiriah berpendapat bahwa
tidak ada hukuman had bagi orang yang dipaksa untuk berzina, baik laki-laki
maupun perempuan. Apabila seorang wanita menahan seorang laki-laki untuk
berzina dengan dirinya atau sebaliknya maka tidak ada hukuman had.
e. perkawinan setelah terjadinya
zina. Perkawinan yang menyusul setelah
terjadinya zina dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut riwayat Abu Yusuf. Akan
tetapi menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut tidak dianggap
sebagai syubhat, karena persetubuhan tersebut merupakan zina yang terjadi
sebelum timbulnya hak milik. Disamping itu, perkawinan itu tidak belaku surut,
karena dalam kasus ini tidak ada syubhat.
f. utuhnya selaput dara. Utuhnya selaput dara merupakan syubhat bagi hak orang
yang terbukti oleh saksi melakukan perbuatan zina. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaydiyah. Dengan
demikian apabila empat orang saksi menyaksikan seorang wanita berzina, tetapi
berdasarkan pemeriksaan dokter ahli yang dapat dipercaya, selaput dara wanita
tersebut masih utuh maka tidak ada hukuman had bagi wanita, karena hal itu
dianggap sebagai syubhat. Demikian para saksi tidak dikenakan hukuman, karena mereka
bertindak sebagai saksi bukan sebagai penuduh.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa wanita tersebut tetap harus dikenai hukuman had, karena pembuktian dengan saksi yang menyatakan dilakukanya zina harus didahulukan untuk diterima sebagai bukti daripada hasil pemeriksaan dokter yang menerangkan keutuhan selaput dara yang seolah-olah menunjukan wanita tersebut tidak melakukan zina. Disamping itu terdapat pula kemungkinan terjadinya persetubuhan tanpa merusak selaput dara.[3]
D. HAL-HAL YANG DAPAT MEMPENGARUHI HUKUMAN
Apabila
hukuman had tidak dapat diterapkan karena adanya syubhat, maka ada dua
kemungkinan, yaitu pembebasan hukuman sepenuhnya dari pelaku atau penggantian
had tersebut dengan ta’zir. Ada 3 hal yang dapat mempengaruhi hukuman antara
lain:
Pertama,
syubhat dalam hukum suatu perbuatan, misalnya orang yang menikah tanpa wali
atau tanpa saksi, atau melakukan nikah mut’ah. Ia tidak dikenakan hukuman
ta’zir atas tuduhan melakukan zinasebab perkawinan tersebut masih
diperselisihka oleh para ahli hukum tentang halal dan haramnya. Oleh karena
dipandang tidak ada ketegasan hukum, orang tersebut dibebaskan dari tuduhan
zina sekalipun dpat dipermasalahkan status pernikahannya. Dalam arti lain nas
yang melarang zina tidak menjangkau dari perbuatan tersebut.
Kedua,
syubhat pada pembuktian terjadinya hukum. Misanya, persaksian yang diberikan
oleh dua orang bahwa seseorang telah meminum khamar, jika kedua orang tersebut
menarik kembali persaksiannya sedangkan bukti lain tidak ada, orang tersebut
dibebaskan sama sekali dari tuduhan terhadap dirinya.
Ketiga,
keadaan syubhat tersebut dapat membebaskannya seseorang dari tuduhan hukuman
had yang dijtuhkan kepadanya. Namun itu bukan berarti ia bebas dari segala
hukum. Meskipun ia bebas dari hukuman had, ia dapat dihukum dengan hukuman
ta’zir.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tidak selamanya hukum itu haram atau halal,
karena diantara yang halal dan yang haram itu terdapat yang namanya syubhat. Syubhat
adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya
sesuatu secara jelas muncul karena ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan.
Kondisi tersebut akan terus meragukan dan tidak akan pernah melahirkan
kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya penjelasan dari ulama.
Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam. Syubhat
sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap
status hukum suatu perkara. Dengan adanya
syubhat yang menggugurkan hukum had bisa saja hukuman yang dikenakan pada pelaku
adalah hukum ta’zir
DAFTAR PUSTAKA
Imaning Yusuf, 2009. Fiqih Jinayah 1,
palembang. Rafah Press,
Muslich, Ahmad Wardi. 2005.
Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
Imam An-nawawi. 2010. Hadis arba’in,
Solo. Ziyad Visi Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar