Kamis, 21 Mei 2015

makalah tentang syubhat fiqh jinayah

Fiqih Jinayah
syubhat
http://www.radenfatah.ac.id/downlot.php?file=Logo%20Bb%20Biru%202.jpg


DisusunOleh:
Amri Wahyudi                                  13150010
Meri filadamayanti                          13150040

Dosen Pembimbing : Andi Candra Jaya M.Hum

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2015


Daftar isi
Kata pengantar..................................................................................................................... 1
1.      Pedahuluan........................................................................................................................... 2
a.       Latar belakang.................................................................................................... 2
b.      Rumusan masalah............................................................................................... 2
2.      Pembahasan......................................................................................................................... 3
a.       Pengertian syubhat............................................................................................. 3
b.      Dasar-dasar hukum syubhat............................................................................... 4
c.       Macam-macam syubhat..................................................................................... 4
d.      Hal-hal yang dapat mempengaruhi hukum.......................................................... 10
3.      Penutup.............................................................................................................................. 11
Kesimpulan...................................................................................................... 11
Daftar pustaka................................................................................................................... 12



 Kata Pengantar

Assalammua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kami curahkan kepada tuhan yang maha esa , yang telah memberikan kemudahan bagi kami untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini karena kami yakin atas izin Allah semuanya berjalan seperti yang kami harapkan.
Shalawat serta salam kami curahkan pada Nabi Agung, yakni Nabi Muhammad SAW, karena berkat perjuangan  beliaulah kita bisa merasakan indahnya islam, manisnya iman dari zaman jahiliyah hingga zaman dimana kita bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam penyusunan makalah ini terutama Bapak Andi Candra Jaya M.Hum selaku dosen pembimbing, kami mengucapkan permohonan maaf kami yang sedalam-dalamnya kita terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan karya ilmiah ini, kami merharapkan sumbangsi kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah dimasa mendatang.
Harapan kami semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kita semua sebagai penambah ilmu pengetahuan kita bersama, mungkin hanya sampai disini penyampaian kami , akhir kalam wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh.


Palembang, 6 mei 2015


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Agama Islam memiliki prinsip dasar, bahwa seorang muslim wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,"Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam)." Maka dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui halal-haramnya perbuatan yang dilakukannya dan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Termasuk dalam hal ini, halal-haramnya makanan, obat, perilaku, ibadah dan lain-lain.

Maknanya adalah yang halal itu jelas, tidak meragukan, sebagaimana yang haram juga jelas, tidak meragukan. Di antara keduanya ada barang yang syubhat yang kebanyakan manusia terjerumus ke dalamnya dan mereka tidak tahu apakah itu halal atau haram. Apabila tidak tahu halal dan haram suatu hal, maka akan timbul suatu penyakit yaitu syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya. Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk.

B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan di makalah ini adalah:

1. Apa pengertian syubhat?
2. Syubhat dan macam-macamnya?
3. sumber hukum syubhat ?
4.apa saja hal-hal yang dapat mempengaruhi hukuman?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN SYUBHAT
Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas. Syubhat terhadap sesuatu bisa muncul baik karena ketidakjelasan status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Syubhat berbeda dengan perkara yang sudah jelas pengharamannya, atau dengan halal, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat muncul karena ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Kondisi tersebut akan terus meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya penjelasan dari ulama. Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum syariat, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas. Seseorang yang masih ragu-ragu terhadap hukum suatu perkara, dan belum jelas mana yang benar baginya, maka perkara itu dianggap syubhat baginya, dia harus menjauhi perkara tersebut hingga jelas baginya status kehalalannya. Sedangkan bagi orang yang tahu), status perkaranya sudah jelas, walau kadang terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ahlul ilmi (ulama), utamanya di antara mazhab-mazhab fiqih.
Menurut Abdul qadis audal syubhat adalah sesuatu yang ketentuan hukumannya tidak diketahui secara pasti, apakah dihalalkan ataukah diharamkan. Dalam pengertian yang lebih luas, syubhat adalah sesuatu yang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih mengandung kemungkinan benar atau salah. didalamnya terdapat dua macam keyakinan yang berlawanan yang timbul dari dua faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan syubhat adalah; “sesuatu yang menyerupai tetap (pasti) tetapi tidak tetap (pasti).” Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syubhat itu adalah suatu peristiwa atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di antara ketentuan hukum, yaitu dilarang atau tidak.[1]

B.     DASAR-DASAR HUKUM SYUBHAT
Dari Nu’man bin Basyir Rasulullah SAW Bersabda : yang halal itu telah jelas halalnya dan yang haram itu telah jelas haramnya. Diantara yang halal dan haram itu terdapat hal-hal yang tidak jelas hukum halal dan haramnya, dan tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Siapa yang memelihara diri dari hal yang syubhat, maka ia bebas dari celaan agama dan citra dirinya dari gunjingan dari orang lain. Dan orang yang terlibat dalam syubhat seolah-olah ia berada diwilayah yang haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya disekitar kawasan terlarang karena dikhawatirkan ternaknya memakan tanaman orang lain. (HR. Muslim)

Dari Abu Muhammad Hasan Bin Ali Bin Abu Thalib, cucu kesayangan Rasulullah SAW berkata: aku hafal sabda Rasulullah: tinggalkanlah hal yang meraguka kepada yang tidak meragukan. (HR. Tirmidzi dan an-nasa’i)[2]
            Dalam pelaksanaan hukum pidana islam, hal-hal yang bersifat syubhat tidak dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan suatu hukum. Hal ini didasarkan ada hadits:
Hindari suatu hukum dengan dasar syubhat (samar-samar) (HR. Ibnu majah)
            Hadits lain ialah yang diriwayatkan dari Aisyah binti Abu Bakar : dihindarkan hukuman had dari kaum muslimin, selama masih mungkin, jika ada dasar untuk terlepasnya seorang dari hukuman, maka bebaskanlah ia.
            Seorang hakim lebih baik keliru dalam memberikan ampunan daripada keliru dalam menetapkan hukuman (HR. At-tirmidzi)
Secara jelas hadits ini menerangkan bahwa pidana hudud tidak boleh diterapkan atas dasar syubhat.

C.    MACAM-MACAM SYUBHAT

Golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah mengadakan pembagian syubhat ini, sedangkan ulama-ulama yang lain tidak membaginya, melainkan mencukupkan dengan mengemukakan apa yang dianggap sebagai syubhat dan apa alasan dari anggapan itu. Hal itu karena syubhat jenisnya sangat banyak dan tidak mungkin dihitung satu per satu, karena ia mengikuti peristiwa peristiwa yang terjadi yang selalu berkembang.Golongan Syafi’i membagi syubhat ini kepada tiga bagian sebagai berikut:
1.      Syubhat dalam objek atau tempat. Contohnya adalah menyetubuhi isteri yang sedang haid atau sedang berpuasa, atau menyetubuhi istri pada duburnya. Dalam contoh ini syubhat terdapat dalam objek (tempat) dilakukanya perbuatan terlarang, karena istri (objek) dimiliki oleh suami, dan adalah haknya menyetubuhi istrinya. Akan tetapi karena istri sedang haid atau puasa ramadhan, atau menyetubuhi pada duburnya maka persetubuhan itu dilarang. Hanya saja keadaan istri yang milik suami dan adanya hak suami untuk menyetubuhinya, menyebabkan syubhat pada persetubuhan tersebut dan menyebabkan terbebas dari hukuman had. Keyakinan pelaku tentang halal-haramnya perbuatan, tidak ada pengaruhnya, karena dasar dari syubhat disini bukan keyakinan atau dugaan pelaku, melainkan tempat atau objek perbuatan dan kewenangan yang diberikan oleh syara’ kepada pelaku. Contohlain ialah pencurian terhadap harta anak kandung sendiri. Tindakan pencurian dilarang syara’, dan diancam hukuman potong tangan seperti yang diterangkan dalam surat al-maidah ayat 38:
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”
Namun disisi lain Nabi SAW bersabda
“engkau dan hartamu menjadi milik ayahmu” (HR. Ibnu majah)
Pencurian dalam kasus ini termasuk dalam kategori syubhat, sehingga seorang ayah yang mencuri harta anak terhindar dari hukuman pencurian. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW di atas. Sehingga ayah tidak dapat dituduh sebagai pencuri, sehingga hukuman yang dikehendaki tidak dapat diterapkan.

2.      syubhat pada  pelaku (subjek). Syubhat disini bukan terletak pada objek perbuatan, melainkan pada dugaan dan keyakinan pelaku. Contohnya menyetubuhi wanita yang tidur di kamar seorang suami yang di sangka sebagai istrinya dikarenakan ruangan yang gelap, padahal sebenarnya seorang tamu. Peristiwa ini menimbulkan syubhat dan dasar dari syubhat disini adalah sangkaan dan keyakinan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukanya bukan perbuatan yang di larang. Adanya syubhat ini kemudian dapat mengakibatkan hapusnya hukuman had bagi pelaku tersebut.

3.      syubhat pada jihat atau aspek hukum. Adapun yang dmaksud syubhat model ini adalah syubhat dalam ketidakjelasan hukum halal-haramnya perbuatan. Dasar dari syubhar ini adalah adanya perbedaan pendapat dari para fuqaha mengenai hukum perbuatan tesebut. Dengan demikian, setiap perbuatan yang diperselisihkan oleh para fuqaha mengenai hukum halal haramnya maka perselisihan tersebut menyebabkan timbulnya syubhat dan dapat menggugurkan hukuman had. Contohnya : nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah membolehkanya, sedangkan ulama lain, seperti Imam Syafi’i tidak membolehkanya. Contoh yang lain; Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi, sementara menurut ulama lain, saksi merupakan syarat sah nika yang wajib dipenuhi. Ibnu Abbas dan golongan Syi’ah membolehkan nikah mut’ah, sedangkan ulama yang lain tidak membolehkanya. Karena adanya perbedaan pendapat antara hukum pernikahan tersebut maka timbulah syubhat dalam persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang melakukan pernikahan semacam itu. Dengan adanya syubhat tersebut, pelaku tidak dikenakan hukuman had.
Golongan Hanafiyah membagi syubhat tersebut menjadi dua bagian:
1.      syubhat dalam perbuatan. Syubhat ini berlaku dalam hak nya orang yang merasa ragu-ragu tentang hukum suatu perbuatan, bahkan bagi orang yang tidak meragukanya. Syubhat ini disebut juga syubatul isytibah atau syubatul musyabahah. Syubhat ini terjadi dalam hak orang yang meragukan tentang halal atau haramnya suatu perbuatan bagi dirinya, dan tidak ada dalil yang menunjukan halalnya, melainkan ia menyangka seuatu yang bukan dalil. Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam iddah. Dalam kasus ini jelas persetubuhanya dilarang karena hubungan perkawinan mereka telah putus dengan talak tiga. Akan tetapi hukuman had dapat dihapus apabila ia menyangka bekas istrinya itu masih halal baginya untuk disetubuhi, dengan alasan tidak ada hak nasab bagi anak yang lahir dalam masa kurang dari dua tahun sejak dijatuhkanya talak. Di samping itu dalam masa iddah, suami masih diwajibkan memberikan nafkah dan membolehkan bekas istrinya untuk tinggal di rumahnya. Sangkaan tersebut meskipun tidak pantas dijadikan alasan (dalil) halalnya perbuatan (persetubuhan), namun karena ia menganggapnya sebagai dalil (alasan) maka hal itu dapat menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had, Perbuatan itu adalah haram bagi mereka yang dapat dijatuhi hukuman had tapi mereka tidak dihukum dengan pidana hudud (zina) karena terdapat unsur syubhat sehingga ia menganggap halal. Namun demikian, suami isteri itu tetap dikenakan hukuman ta’zir. Sehubungan alasan ini tidak kuat untuk menghalallkan persetubuhan tetapi cukup sebagai alasan menolak hukuman hudud.
2.      syubhat dalam tempat atau objek. Syubhat ini disebut syubhatul hukmiyah atau syubhatul milk. Syubhat ini terjadi apabila tidak ada kejelasan dalam hukum syara’ tentang halalnya objek, bukan dalam sangkaan pelaku. Dalam syubhat jenis ini disyaratkan bahwa syubhat timbul dari hukum syara’, dengan adanya dalil syar’i yang menghilangkan keharaman perbuatan tersebut. Golongan Hanafiyah memberikan contoh kasus jarimah zina yang termasuk syubhatul mahal (syubhat dalam objek).
a.        wathul maharim. Adapun yang dimaksud dengan wathul maharim adalah menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahi. Hukum pernikahan ini adalah batal menurut kesepakatan para ulama. Dengan demikian apabila terjadi persetubuhan dengan wanita muhrim yang dinikahi, menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Zhahiriyah, Syi’ah Zaydiyah, dan Abu Yusuf serta murid Imam Abu Hanifah maka pelaku harus dikenakan hukuman had karena di sana tidak ada syubhat. Akan tetapi, Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang kawin dengan seorang wanita yang tidak halal baginya untuk dinikahi kemudian ia melakukan persetubuhan denganya maka tidak dikenai hukuman had, walaupun ia tahu wanita itu haram untuk dinikahinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam hal ini terdapat syubhat, yaitu adanya akad nikah yang merupakan sebab dibolehkannya persetubuhan pada umumnya. Akan tetapi karena pernikahan itu dilarang maka sebab kebolehan menjadi hilang dan tinggalah bentuk syubhatnya. Dengan adanya syubhat yang menggugurkan hukum had maka hukuman yang dikenakan pada pelaku adalah hukum ta’zir.
Akan tetapi, ulama-ulama lain menolak argumantasi yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dengan alasan persetubuhan yang dilakukan terhadap farji yang disepakati haramnya karena bukan hak milik dan tidak ada syubhat milik, tetap perbuatan zina yang harus dikenakan hukum had.dalam hal ini, akad nikah yang dilakukan adalah akad yang batal dan tidak ada pengaruhnya sama sekali, sehingga hal itu tidak dapat dianggap sebagai syubhat.
b.      persetubuhan dalam pernikahan yang batal. Apabila terjadi persetubuhan dalam lingkungan pernikahan yang batal, seperti nikah dengan istri yang ke lima, atau dengan wanita yang bersuami atau yang di talak tetapi masih dalam masa idah maka persetubuhan tersebut merupakan zina dan harus dikenai hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah akad tersebut meskipun batal, tetap menimbulkan syubhat yang dapat menimbulkan gugurnya hukuman had, sehingga yang demikian perlu dikenai hukuman ta’zir.
c.       persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan hukumnya. Persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan hukum sahnya, seperti nikah mut’ah, muhallil, nikah tanpa wali, nikah tanpa saksi, tidak dianggap sebagai zina, dan pelaku tidak dikenai hukuman had. Hal ini disebabkan karena pernikahan tersebut menimbulkan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had.
d.      Persetubuhan karena dipaksa. Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat. Dasar hukumnya adalah ;

“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…”
(Q.S al-Baqarah:173)
“…ALLAH telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” ( Q.S al-An’am :119)
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn majah, Baihaqi. Nabi  Muhammad bersabda; “sesungguhnya ALLAH mengampuni umatku atas perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas nya”

            Akan tetapi jika yang dipaksa berzina adalah laki-laki, menurut pendapat yang marjuh (lemah) di dalam mahdzab Maliki, hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Syi’ah Zaydiyah, ia tetap dikenai hukuman had. Alasanya adalah jika yang dipaksa itu wanita, kemungkinanya besar sekali karena wanita tugasnya itu adalah menyerahkan dirinya. Tetap jika laki-laki tidak bisa dikatakan dipaksa jika alat kelaminya menegang, karena tegangnya itu menunjukan kesediaanya. Apabila alat kelaminya tidak menegang tetapi dipaksa maka disini dikenakan hukuman had.

            Menurut pendapat yang rajih (kuat) dari mahzab mahzab tersebut, tidak ada hukuman had bagi laki-laki yang dipaksa untuk berzina, karena paksaan itu bagi laki-laki maupun perempuan statusnya sama saja. Alasanya masalah tegangnya kelamin itu kadang-kadang merupakan pembawaan (tabiat) dan itu lebih menunjukan sifat kejantananya daripada kesediaanya. Terlepas dari itu semua, ikrah (paksaan) itu merupakan syubhat yang dapat menyebabkan gugurnya hukuman had.

            Golongan zhahiriah berpendapat bahwa tidak ada hukuman had bagi orang yang dipaksa untuk berzina, baik laki-laki maupun perempuan. Apabila seorang wanita menahan seorang laki-laki untuk berzina dengan dirinya atau sebaliknya maka tidak ada hukuman had.

e.       perkawinan setelah terjadinya zina. Perkawinan yang menyusul setelah terjadinya zina dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut riwayat Abu Yusuf. Akan tetapi menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut tidak dianggap sebagai syubhat, karena persetubuhan tersebut merupakan zina yang terjadi sebelum timbulnya hak milik. Disamping itu, perkawinan itu tidak belaku surut, karena dalam kasus ini tidak ada syubhat.
f.       utuhnya selaput dara. Utuhnya selaput dara merupakan syubhat bagi hak orang yang terbukti oleh saksi melakukan perbuatan zina. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaydiyah. Dengan demikian apabila empat orang saksi menyaksikan seorang wanita berzina, tetapi berdasarkan pemeriksaan dokter ahli yang dapat dipercaya, selaput dara wanita tersebut masih utuh maka tidak ada hukuman had bagi wanita, karena hal itu dianggap sebagai syubhat. Demikian para saksi tidak dikenakan hukuman, karena mereka bertindak sebagai saksi bukan sebagai penuduh.

            Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa wanita tersebut tetap harus dikenai hukuman had, karena pembuktian dengan saksi yang menyatakan dilakukanya zina harus didahulukan untuk diterima sebagai bukti daripada hasil pemeriksaan dokter yang menerangkan keutuhan selaput dara yang seolah-olah menunjukan wanita tersebut tidak melakukan zina. Disamping itu terdapat pula kemungkinan terjadinya persetubuhan tanpa merusak selaput dara.[3]
D.    HAL-HAL YANG DAPAT MEMPENGARUHI HUKUMAN
Apabila hukuman had tidak dapat diterapkan karena adanya syubhat, maka ada dua kemungkinan, yaitu pembebasan hukuman sepenuhnya dari pelaku atau penggantian had tersebut dengan ta’zir. Ada 3 hal yang dapat mempengaruhi hukuman antara lain:
Pertama, syubhat dalam hukum suatu perbuatan, misalnya orang yang menikah tanpa wali atau tanpa saksi, atau melakukan nikah mut’ah. Ia tidak dikenakan hukuman ta’zir atas tuduhan melakukan zinasebab perkawinan tersebut masih diperselisihka oleh para ahli hukum tentang halal dan haramnya. Oleh karena dipandang tidak ada ketegasan hukum, orang tersebut dibebaskan dari tuduhan zina sekalipun dpat dipermasalahkan status pernikahannya. Dalam arti lain nas yang melarang zina tidak menjangkau dari perbuatan tersebut.
Kedua, syubhat pada pembuktian terjadinya hukum. Misanya, persaksian yang diberikan oleh dua orang bahwa seseorang telah meminum khamar, jika kedua orang tersebut menarik kembali persaksiannya sedangkan bukti lain tidak ada, orang tersebut dibebaskan sama sekali dari tuduhan terhadap dirinya.
Ketiga, keadaan syubhat tersebut dapat membebaskannya seseorang dari tuduhan hukuman had yang dijtuhkan kepadanya. Namun itu bukan berarti ia bebas dari segala hukum. Meskipun ia bebas dari hukuman had, ia dapat dihukum dengan hukuman ta’zir.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Tidak selamanya hukum itu haram atau halal, karena diantara yang halal dan yang haram itu terdapat yang namanya syubhat. Syubhat adalah ketidakjelasan atau kesamaran, sehingga tidak bisa diketahui halal haramnya sesuatu secara jelas muncul karena ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Kondisi tersebut akan terus meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap, hingga datangnya penjelasan dari ulama. Kondisi seperti ini umumnya dialami kebanyakan oleh kelompok awam. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Dengan adanya syubhat yang menggugurkan hukum had bisa saja hukuman yang dikenakan pada pelaku adalah hukum ta’zir
DAFTAR PUSTAKA
Imaning Yusuf, 2009. Fiqih Jinayah 1, palembang. Rafah Press,
Muslich, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
Imam An-nawawi. 2010. Hadis arba’in, Solo. Ziyad Visi Media.




[1] Imaning Yusuf, Fiqih Jinayah 1, Rafah Press, palembang 2009, hlm 65
[2] Imam An-nawawi. Hadis arba’in, Ziyad Visi Media. Solo 2010. Hlm 41.
[3] Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta.2005. hlm 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar